Senin, 18 Maret 2013

Bank Perkeditan Rakyat


A.     Sejarah Singkat Bank Perkreditan Rakyat (BPR)

Berawal dari keinginan untuk membantu para petani, pegawai, dan buruh untuk melepaskan diri dari jerat pelepas uang (rentenir) yang memberikan kredit dengan bunga tinggi, lembaga perkreditan rakyat mulai didirikan. Sekilas dapat dipaparkan runtutan sejarah BPR:

·         Abad ke-19 : dibentuk Lumbung Desa, Bank Desa, Bank Tani,  dan Bank Dagang Desa.
·          Pasca kemerdekaan Indonesia : didirikan Bank Pasar, Bank Karya Produksi Desa (BKPD)
·         Awal 1970an : didirikan Lembaga Dana Kredit Pedesaan (LDKP) oleh Pemerintah Daerah.
·         1988 : Pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Oktober 1988 (PAKTO 1988) melalui Keputusan Presiden RI No.38 yang menjadi momentum awal pendirian BPR-BPR baru. Kebijakan tersebut memberikan kejelasan mengenai keberadaan dan kegiatan usaha “Bank Perkreditan Rakyat” atau  BPR.
·         1992 : Undang-Undang No.7 tahun 1992 tentang Perbankan, BPR diberikan landasan hukum yang jelas sebagai salah satu jenis bank selain Bank Umum.
·         PP No.71/1992 Lembaga Keuangan Bukan Bank yang telah memperoleh izin usaha dari Menteri Keuangan dan lembaga-lembaga keuangan kecil seperti Bank Desa, Lumbung Desa, Bank Pasar, Bank Pegawai, LPN, LPD, BKD, BKK, KURK, LPK, BKPD, dan lembaga- lembaga lainnya yang dipersamakan dengan itu dapat diberikan status sebagai BPR dengan memenuhi persyaratan dan tata cara yang ditetapkan untuk menjadi BPR dalam jangka waktu sampai dengan 31 Oktober 1997.

B.      Definisi

Landasan Hukum BPR adalah UU No.7/1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No.10/1998. Dalam UU tersebut secara tegas disebutkan bahwa BPR adalah Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Kegiatan usaha BPR terutama ditujukan untuk melayani usaha-usaha kecil dan masyarakat di daerah pedesaan. Bentuk hukum BPR dapat berupa Perseroan Terbatas, Perusahaan Daerah, atau Koperasi.


C.      Kegiatan Usaha BPR

a.      Kegiatan usaha yang dapat dilakukan BPR
  1. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposit   berjangka tabungan dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu;
  2. Memberikan kredit;
  3. Menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI), deposito berjangka, sertifikat deposito dan atau tabungan pada Bank lain.

b.      Kegiatan usaha yang tidak dapat dilakukan oleh BPR
  1. Menerima simpanan berupa giro dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran; 
  2. Melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing kecuali sebagai pedagang valuta asing (dengan izin Bank Indonesia);
  3. Melakukan penyertaan modal;
  4. Melakukan usaha perasuransian; 
  5. Melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana disebutkan pada butir C.1.

KETENTUAN – KETENTUAN BANK PERKREDITAN RAKYAT

Sebagai salah satu jenis bank maka pengaturan dan pengawasan BPR dilakukan oleh Bank Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 3 tahun 2004 tentang Bank Indonesia. Kewenangan pengaturan dan pengawasan BPR oleh Bank Indonesia meliputi kewenangan memberikan izin (right to license), kewenangan untuk mengatur (right to regulate), kewenangan untuk mengawasi (right to control) dan kewenangan untuk mengenakan sanksi (right to impose sanction). Pengaturan dan pengawasan BPR oleh Bank Indonesia diarahkan untuk mengoptimalkan fungsi BPR sebagai lembaga kepercayaan masyarakat yang ikut berperan dalam
membantu pertumbuhan ekonomi terutama di wilayah pedesaan. Dengan demikian pengaturan dan pengawasan BPR yang dilakukan disesuaikan dengan karakteristik  operasional BPR namun tetap menerapkan prinsip kehati-hatian bank (prudential banking) agar tercipta sistem perbankan yang sehat.

A.     Ketentuan Kelembagaan

·         PENDIRIAN BPR
BPR hanya dapat didirikan dan dimiliki dengan izin Dewan Gubernur Bank Indonesia oleh :
a.      Warga Negara Indonesia;
b.       Badan hukum Indonesia yang seluruh pemiliknya warga negara Indonesia;
c.       Pemerintah Daerah; atau
d.      Dua pihak atau lebih sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b dan c.

·         Modal disetor untuk mendirikan BPR :
a.      Rp.5 miliar untuk BPR yang didirikan di wilayah DKI Jakarta;
b.      Rp.2 miliar untuk BPR yang didirikan di wilayah ibukota provinsi di pulau Jawa dan Bali dan    di wilayah Kabupaten atau Kotamadya Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi;
c.       Rp.1 miliar untuk BPR yang didirikan di ibukota provinsi di luar pulau Jawa dan Bali dan di wilayah pulau Jawa dan Bali di luar wilayah sebagaimana disebut dalam huruf a dan b;
d.      Rp.500 juta untuk BPR yang didirikan di wilayah lain di luar wilayah sebagaimana   disebut dalam huruf a, b dan c.

·         KEPEMILIKAN BPR

Ø  Yang dapat menjadi pemilik BPR adalah pihak-pihak yang:

a.      tidak termasuk dalam daftar orang-orang tercela di bidang perbankan.
b.      memiliki integritas, antara lain memiliki akhlak dan moral yang baik, bersedia mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku dan bersedia mengembangkan operasional BPR secara sehat.

Ø  Sumber dana yang digunakan untuk kepemilikan BPR dilarang berasal dari:
a.      pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk apapun dari bank dan/atau pihak lain (kecuali berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) dan
b.       berasal dari dan untuk tujuan pencucian uang.

Bagi pemegang saham pengendali, wajib memenuhi persyaratan bahwa yang bersangkutan bersedia untuk mengatasi kesulitan permodalan dan likuiditas yang dihadapi bank dalam menjalankan kegiatan usahanya dan memenuhi persyaratan kelayakan keuangan sesuai dengan ketentuan mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) BPR.

Referensi :







0 komentar:

Posting Komentar